Berpikir Terbalik Memandang Perkara Tata Niaga Timah : ‘Mega Korupsi Atau Mega Kriminalisasi Hukum?


(Analisis Modern dan Kritis Terhadap Konstruksi Hukum yang Dipaksakan dalam Dugaan Korupsi PT Timah Tbk)
 
Legal Opinion (LO)/ pendapat hukum menurut : Dr. Andi Kusuma., S.H., M.Kn., CTL

PERKARA PT Timah Tbk yang disebut-sebut sebagai “Mega Korupsi Tata Timah” dengan kerugian negara yang bombastis mencapai Rp 300 triliun telah menjadi isu nasional yang sangat kontroversial.

Sejak awal, Kejaksaan Agung RI melalui penyidik Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) telah membangun narasi bahwa kasus ini adalah mega korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia.

Namun, jika dianalisis secara objektif dengan pendekatan berpikir terbalik, kasus ini justru seolah mengarah pada “Mega Kriminalisasi Hukum” terfantastis dalam sejarah hukum Indonesia terhadap kebijakan bisnis yang sah.

Dalam perkara ini Kejaksaan Agung, seolah berubah menjadi bak ahli “tata niaga” usaha mengalahkan ahli ekonomi bisnis.

Saat ini hampir semua tata niaga usaha dikonstruksikan menjadi kasus hukum dengan menggunakan jerat pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 20 tahun 2001 perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hal ininosebagaimana didakwakan pada perkara tata niaga timah dalam kasus PT Timah, Tata Niaga Sawit dalam kasus PT Dapo Agro Makmur (DAM), dan terakhir pada perkara terbaru yang sedang di tangani Kejaksaan Agung Republik Indonesia yaitu perkara tata niaga minyak mentah dalam kasus pertamina.

Bahwa seluruh perkara tersebut telah dikonstruksikan atas kerugian negara dengan nilai yang sangat bombastis. Karya tulis ini Kami maksudkan guna menyoroti bagaimana Kejaksaan Agung membangun konstruksi hukum yang terkesan dipaksakan melalui metode case building. Metode case building merupakan sebuah pendekatan yang memungkinkan terbentuknya narasi hukum tanpa bukti yang cukup kuat.

Kejanggalan dalam konstruksi hukum, mulai dari penggunaan kesaksian testimonium de auditu, perhitungan kerugian negara yang kontroversial, hingga framing media oleh buzzer hukum seperti Jaksapedia, Inilah.com, dan berbagai platform media lainnya, menunjukkan adanya indikasi kriminalisasi kebijakan bisnis  korporasi yang sah.

Secara business judgement rules (BJR) kebijakan dan program bisnis yang dilakukan dalam strategi pengamanan cadangan bijih timah di wilayah IUP PT Timah Tbk dan menyelamatkan dari ancaman kebangkrutan. Namun menurut Kejaksaan Agung dikonstruksikan sebagai perbuatan melawan hukum dan tindak pidana korupsi ketimbang kebijakan survival menghadapi kelemahan regulasi dan pengawasan dibidang pertambangan (kelemahan sistemik).
 
Lebih jauh, karya tulis ini juga menyoroti bagaimana proses peradilan bekerja populis dalam penanganan kasus ini, di mana keputusan hukum lebih mengakomodasi tekanan politik dan opini publik dibandingkan analisis yuridis yang objektif.

Dengan menggunakan sumber dari berbagai pemberitaan media independen, media sosial, serta pengamatan langsung dalam persidangan, tulisan ini mengungkap bagaimana narasi mega korupsi ini telah dikondisikan sejak awal untuk menciptakan efek kejut di masyarakat, dengan mengorbankan asas fair trial dan kepastian hukum.
 
Kasus yang menjerat PT Timah Tbk telah menjadi pusat perhatian publik sejak Kejaksaan Agung RI mengumumkan dugaan korupsi senilai Rp 300 triliun. Sejak awal, kasus ini telah diframing sebagai “mega korupsi,” dengan narasi yang dikendalikan oleh media mainstream dan berbagai akun buzzer hukum yang secara sistematis membangun opini publik bahwa di Bangka Belitung atau di PT Timah Tbk adalah sarang kejahatan ekonomi pertambangan.

Perilaku sistem tata niaga pertambangan timah yang terbentuk sejak kebijakan reformasi ekonomi dan otonomi daerah sejak tahun 2000 an dianggap sebagai tindakan melawan hukum atau tindak pidana korupsi ketimbang karena kegagalan sistemik atas regulasi dan pengawasan.

Kemana para pejabat terkait dan para aparat penegak hukum (APH) selama ini? Kenapa baru sekarang dipermasalahkan dengan menuntut tanggung jawab pada segelintir pejabat negara, pejabat BUMN dan pengusaha?
 
Namun, seberapa sahihkah klaim tersebut diatas? Jika kita menganalisa kasus ini secara mendalam dan kritis,menurut hemat Kami tampak bahwa yang terjadi bukanlah kasus mega korupsi, melainkan seperti seolah mega kriminalisasi hukum terhadap kebijakan korporasi yang justru bertujuan untuk menyelamatkan PT Timah Tbk dari keruntuhan bisnis.
 
Dari hasil observasi atas berbagai pemberitaan yang ada terkesan konstruksi hukum dalam kasus ini tidak hanya diduga dipaksakan, tetapi juga diduga dibangun berdasarkan premis yang cacat, di mana kebijakan bisnis yang sah dijadikan sebagai objek pemidanaan tanpa mempertimbangkan prinsip business judgment rule.

Pendekatan case building yang digunakan oleh kejaksaan justru memperlihatkan bagaimana proses hukum dapat direkayasa untuk memenuhi tujuan politik tertentu, bukan untuk mencari keadilan yang substansial.

Super power fungsional dan kewenangan mulai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan merupakan kunci keberhasilan kejaksaan menggunakan pendekatan case building yang salah salah penerapannya malah menjadi kekuasaan untuk kriminalisasi hukum.
 
 
Kebijakan Pengamanan Cadangan Timah dan Kriminalisasi Business Judgment Rule
 
Sejak tahun 1999, timah tidak lagi dikategorikan sebagai komoditas strategis, sehingga PT. Timah Tbk harus menghadapi persaingan pasar bebas. Dalam situasi ini, muncul berbagai smelter swasta yang mulai menguasai rantai pasokan timah dengan membeli langsung dari tambang rakyat dan atau cukong kolektor timah.

Penerapan konsep cash and carry atau pembayaran cepat dengan harga diatas PT Timah dan mengikuti perkembangan harga pasar dunia menyebabkan Smelter Swasta menang dibanding PT Timah Tbk.

Akibatnya, PT. Timah Tbk mulai kehilangan cadangan bijih timahnya karena para penambang rakyat atau pedagang pengumpul (kolektor) timah lebih memilih menjual ke smelter swasta dengan harga lebih tinggi.

Dampaknya tambang rakyat semakin marak dan secara perekonomian sektor pertambangan timah menjadi sumber pendapatan utama masyarakat Bangka Belitung. Sektor pertimahan menjadi growth pole economy sector.
 
Untuk mengatasi masalah ini, PT. Timah merancang Program Pengamanan Objek Vital (Pamovit), yang kemudian berkembang menjadi program kemitraan dengan IUJP dan Borongan Jasa Pengangkutan Sisa Hasil Produksi (SHP).

Kebijakan ini memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan produksi dan pendapatan perusahaan. Secara Produksi dan finansial, kebijakan ini berdampak positif terhadap kinerja PT. Timah Tbk, yang dapat dilihat dari data informasi laporan tahunannya. 

Berdasarkan data perkembangan dalam 2 (dua) tahun yaitu periode (2018-2019 sebagaimana disebut sebagai tahun massive pelaksanaan program pamovit dan kemitraan di PT Timah Tbk, dapat diuraikan terdapat perkembangan kinerja sebagai berikut :
 
●      Tahun 2018: Produksi logam timah mencapai 33.444 MT, dengan volume ekspor 33.818 MT, dan menghasilkan pendapatan ekspor penjualan logam sebesar Rp 11,050 triliun.
●      Tahun 2019: Produksi logam timah meningkat menjadi 76.389 MT, dengan volume ekspor 67.704 MT, dan menghasilkan pendapatan ekspor sebesar Rp 18,976 triliun.
●      Laba operasi (gross profit): Rp 1,667 triliun (2018) dan Rp 1,222 triliun (2019).
 
Berdasarkan data tersebut diatas bayangkan berapa perputaran uang atau bisnis yang didorong dari pertumbuhan bisnis PT Timah Tbk diatas terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Bangka Belitung dan juga dampaknya terhadap pembangunan daerah?
 
Namun ironisnya alih-alih dianggap sebagai keberhasilan kebijakan dan strategi bisnis yang mendorong kinerja PT Timah Tbk dan pertumbuhan ekonomi Babel, tetapi program ini justru dikriminalisasi sebagai bagian atau sumber masalah dari mega korupsi timah.

Program ini dianggap mendorong semakin maraknya tambang rakyat yang dikatagorikan oleh kejaksaan sebagai tambang ilegal karena tanpa ijin (PETI). Padahal pertambangan rakyat ini sudah menjadi bagian dari sistem tata niaga timah.

Padahal oleh PT. Timah Tbk dan Dirjen Minerba Kementrian ESDM, dikatakan bahwa aktivitas pertambangan tambang rakyat yang dilakukan oleh masyarakat Bangka Belitung di wilayah IUP yang diijinkan oleh pemilik IUP sebagai tambang inkonvesional, sedangkan tambang rakyat yang tidak berijin dinamakan PETI.

Perhitungan Kerugian Negara yang Kontroversial
 
Untuk memperkuat pembangunan kontruksi hukum maka oleh Kejaksaan Agung dibuatlah kontruksi kerugian negara yang fantatis besar dengan meminta bantuan perhitungan kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melalui seorang ahli forensik kebakaran hutan dari IPB yaitu Prof. Dr. Bambang Hero Saharjo.

Awalnya seusai dilakukan penetapan terhadap beberapa Tersangka pada perkara mega korupsi tataniaga timah, Kejaksaan Agung kemudian menetapkan kerugian negara Rp.271 triliun sebagaimana dihitung oleh Prof. Dr. Bambang Hero Saharjo.

Atas perhitungan kerugian negara tersebut sifatnya adalah kerugian lingkungan yang bersifat potensional (potentional loss) atau dengan kata lain bersifat tidak nyata (actual loss) maka ditambahkan kerugian keuangan pada PT Timah Tbk senilai Rp. 29 triliun yang didalikan sebagai kerugian keuangan negara.

Kemudian akhirnya atas perhitungan sebagaimana didalikan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Prof. Dr. Bambang Hero Saharjo atas permintaan penyidik Kejaksaan Agung adalah diklaim mencapai Rp. 300,003 triliun dengan rincian sebagai berikut :
1.    Kerugian atas kerja sama penyewaan alat processing: Rp 2,285 triliun
2.    Kerugian akibat pembayaran bijih timah ilegal: Rp 26,649 triliun.
3.    Kerugian ekonomi negara akibat kerusakan lingkungan: Rp 271,069 triliun, terdiri dari:
a.    Kerugian ekologi: Rp 183,703 triliun
b.    Kerugian ekonomi lingkungan: Rp 75,479 triliun
c.    Biaya pemulihan: Rp 11,887 triliun.
 
Perhitungan kerugian negara dalam nilai yang fantastis dan bombastis ini hanya diselesaikan dalam beberapa bulan. Sungguh luar biasa kemampuan BPKP dalam melakukan audit keuangan, baik audit investigatif maupun audit forensic bukan??? 
 
Sehingga secara keilmuan, perhitungan ini patut Kami duga diragukan validitasnya dan kebenarannya karena terdapat fakta-fakta persidangan sebagaimana terungkap :
●      Prof. Dr. Bambang Hero Saharjo bukan merupakan pihak yang berkompenten dalam melakukan penghitungan adalah Ahli Keuangan Negara seharusnya berasal dari Eselon 1/ Eselon II dan terverifikasi lebih lanjut oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup;
●      Penghitungan tidak dilakukan melalui prosedur audit investigasi atau forensik yang independen, melainkan hanya berdasarkan data yang disediakan oleh penyidik Kejaksaan Agung;
●      Penghitungan kerugian lingkungan dihitung berdasarkan potensi (potentional loss), bukan fakta aktual (factual loss), sehingga tidak dapat dimasukkan sebagai kerugian negara yang nyata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
●      Hasil bijih timah sebagaimana dinyatakan ilegal oleh penyidik Kejaksaan walaupun instansi berwenang, namun dalam hal ini Dirjen Minerba ESDM dana Kepolisian Daerah Bangka Belitung tidak menyatakan secara resmi bahwa program pamovit, kemitraan dan tambang rakyat yang bijih timahnya diambil alih oleh PT Timah dan diberikan kompensasi yang dikonversikan dalam Rp per kg Sn timah itu salah dan ilegal;
●      Karena bijih timah dianggap ilegal maka pendapatan PT. Timah Tbk dari program ini tidak dihitung, sementara biaya operasional pembelian bijih timah dianggap biaya tidak seharusnya sebagai total loss (kerugian). Hal jelas melanggar prinsip akuntansi dan bisnis dalam menghitung keuntungan atau kerugian. Di mana konsep akuntansi dasar, menyatakan keuntungan/kerugian adalah total pendapatan dikurangi total biaya produksi/penjualan;
●      PT. Timah sejak diberlakukan PP No. 47 Tahun 2017 berstatus sebagai  perusahaan BUMN dan pembayaran biaya modal kerja Rp 29 triliun berasal dari pinjaman bank, bukan APBN atau Penyertaan Modal Negara (PMN). Namun secara, konstruksi hukum perkara PT Timah Tbk tanpa (Persero) tetap dinilai sebagai BUMN. Biaya pembelian bijih timah diasumsikan sebagai dana kerugian negara. Bahwa tidak seharusnya pengeluaran pembayaran untuk bijih timah menjadi kerugian keuangan negara karena PT Timah Tbk bukan merupakan BUMN.
 
Dalam kondisi ini, perhitungan kerugian negara lebih tampak sebagai upaya untuk memaksakan angka agar terlihat fantastis, bukan sebagai hasil analisis ekonomi dan hukum yang objektif. Dan juga, secara awam yang mempunyai daya pikir menjadi aneh. Apa seharusnya bijih timah dari mitra CV-CV (persekutuan komanditer) yang bersumber dari tambang rakyat ini tidak diberi kompensasi alias seharusnya “dirampas” dari masyarakat.

Apakah dengan menilai program PT timah Tbk ini sebagai bentuk Tindak Pidana Korupsi memberi arti Kejaksaan Agung lebih menyukai apabila bijih timah dari Wilayah IUP OP PT Timah Tbk diambil dan diserahkan ke swasta bukan kepada PT Timah Tbk? Konsep berfikir seperti ini lah yang dapat Penulis ungkapkan apabila Penulis berasal dari masyarakat awam.
 
Apabila perkara ini dianalisa secara komprehensif dan kritis, maka perkara ini lebih masuk akal disebut seperti “mega kriminalisasi” terhadap kebijakan bisnis PT. Timah yang sah dibandingkan sebagai kasus mega korupsi tata niaga timah.

Hal ini Penulis pandang karena secara definisi sederhana dan pembuktian dipersidangan dalam perkara ini tidak pernah ada bukti gratifikasi atau suap menyuap dalam duduk perkara. Namun akan tetapi menurut hemat Penulis, perkara ini lebih masuk pada permasalahan konstruksi pengolongan pidana khusus – kerugian negara.
 
Disinyalir Kejaksaan Agung telah membangun narasi bahwasannya perkara sebagaimana dimaksud diatas ter framing seolah merupakan perkara “mega korupsi”. Namun apabila mengacu pada fakta persidangan menunjukkan bahwasannya konstruksi hukum yang dibangun oleh Kejaksaan Agung disinyalir begitu lemah dengan alat bukti yang dipaksakan serta peradilan yang terkesan tergerakkan oleh tekanan politik serta framing media dibandingkan pencarian keadilan yang objektif.
 
Akhir kata, berdasarkan seluruh data dan fakta sebagaimana telah dipaparkan tersebut diatas, terdapat satu pertanyaan besar masih tersisa dibenak penulis yaitu:
 
Apakah ini benar-benar kasus mega korupsi, atau kita sedang menyaksikan salah satu mega kriminalisasi hukum terbesar dalam sejarah Indonesia?
 


 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *