Perpat Babel Surati Presiden Desak Jaksa Agung Burhanuddin & Febri Dinonaktifkan Dari Jabatan

Foto : Ketua DPD Laskar Pejuang Putra Putri Tempatan Babel, Budiyono SH. (TJI)

TJI,BANGKABELITUNG – Terhitung belumlah lama usai melaporkan Kepala Kejaksaan Agung (Kajagung), ST Burhanuddin dan Jampidsus Kejagung, Febri Adriansyah ke Bareskrim Mabes Polri., kini kedua pejabat tinggi di institusi Adhiyaksa kini didesak ormas Perkumpulan Putra Putri Tempatan (Perpat) Bangka Belitung segera dinonaktifkan dari jabatan.

Dikatakan Ketua DPD Laskar Pejuang Tempatan Babel, Budiyono SH hal ini diwacanakan tak lain sebagai wujud desakan, bahkan pihaknya telah melayangkan surat permohonan yang ditujukan kepada Presiden RI, Prabowo Subianto. Selain Burhanuddin Perpat pun mendesak pula agar Jampidsus Kejagung Febri Adriansyah dinonaktifkan.

Alasan penonaktifkan kedua pejabat tinggi Kejaksaan ini lantaran menurut Budiyono keduanya merupakan bagian dari institusi Kejagung RI sehingga seharusnya menjalankan amanah penegakkan hukum sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Diakuinya, jika baru-baru ini jagat media sosial masyarakat Indonesia sedang dihebohkan dengan perkara kontroversial ‘Mega Korupsi Tata Niaga Timah” dengan nilai kerugian negara yang didalilkan oleh Terlapor sebesar Rp.271.000.000.000.000,- (dua ratus tujuh puluh satu triliun).

Bahkan diketahui Dr Febrie Adriansyah, S.H.,M.H mengkategorikan perkara yang menjerat pihak PT Timah Tbk dan perusahaan smelter lainnya sebagai “tindak pidana korupsi”.

” Bahwa atas pengkategorian tindak pidana tersebut diduga telah terjadi eror in objecto karena seharusnya perkara ini dikategorikan dalam Undang-Undang Minerba yang menyebabkan kerusakan lingkungan,” tegas Budiyono dalam siaran pers diterima media ini, Rabu (23/1/2025).

*Uraian Detil Telaah Hukum Pihak Perpat Babel

Selanjutnya, berdasarkan yurisprudensi dalam pokok perkara yang sama, salah satunya pada Putusan Pengadilan Negeri Koba Nomor : 80/Pid.B/LH/2020/PN.Kba tanggal 19 Agustus 2020 dan Putusan Negeri Pangkalpinang Nomor : 9/Pid.Sus-TPK/2024/PN Pgp.

“Dalam perkara ini terdakwa dipersangkakan melakukan penambangan illegal pada Kawasan hutan lindung sehingga mengakibatkan dilampauinya kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Dalam perkara tersebut, perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dikategorikan dalam perbuatan tambang illegal (illegal mining) menyebabkan kerusakan lingkungan dan ‘Bukan Sebagai Tindak Pidana Korupsi, ” terangnya.

Adapun berdasarkan Putusan Negeri Pangkalpinang Nomor : 9/Pid.Sus-TPK/2024/PN Pgp dalam pokok yang sama, mengkategorikan apabila terdapat satu perkara yang memiliki 2 tumpang tindih ketentuan hukum yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Minerba/ Undang-Undang Li inngkungan maka pada prinsipnya lex specialis derogat lex generalis meletakkan kedudukan peraturan undang-undang minerba diatas undang-undang tindak pidana korupsi.

Lanjutnya, dalam perkara tersebut Nomor : 9/Pid.Sus-TPK/2024/PN Pgp tersebut majelis hakim telah bersikap objektif dengan mempertimbangkan “lex specialis derogat lex generalis”. Sehingga dalam perkara ini Terdakwa di nyatakan “onslag” oleh Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Pangkalpinang.

Begitu pula mengenai unsur merugikan keuangan negara pada perkara tindak pidana korupsi maka unsur merugikan keuangan negara menitikberatkan adanya akibat (delik materil) atau tegasnya, unsur merugikan keuangan negara harus dipahami “telah terjadi kerugian negara pasti” atau nyata (actual loss) dalam satu perkara sebagaimana diperdugakan sebagai delik tindak pidana korupsi.

Berdasarkan konstruksi hukum sebagaimana diuraikan diatas maka seharusnya sejak perkara ini di tahap penyelidikan hingga penyidikan, Dr. Sanitiar Burhanuddin S.H.,M.H. dan Dr Febrie Adriansyah, S.H.,M.H dapat memetakan dengan sebenar-benarnya mengenai konsep hukum dan pemidanaan sesuai dengan pokok perkara yang sedang ditangani,” terangnya.

“Dalam hal ini, seharusnya Dr Sanitiar Burhanuddin S.H.,M.H. dan Dr. Febrie Adriansyah, S.H.,M.H bersikap objektif dengan memperhatikan seluruh fakta maupun konsep yuridis yang diatur dalam peraturan perundang-undangan,” terangnya lagi.

Namun menurut Budiyono disinyalir terdapat pelanggaran kewenangan hukum dalam menangani perkara mega korupsi tata niaga timah ini, dan saat ini masyarakat Indoensia bak terhipnotis pada framing “kerugian fantastis sebesar 271 trilyun” tanpa mengetahui fakta sebenar-benarnya.

“Begitu pula fakta-fakta yang terungkap selama di persidangan pun ditemukan adanya kejanggalan-kejanggalan dalam konstruksi hukum pada mega korupsi tata niaga timah sebagaimana Kami uraikan dibawah ini,” singgungnya.

Lanjut Budiono, dalam perkara mega korupsi tata niaga timah ini telah menjerat korporasi swasta (smelter) bersama badan usaha milik Negara (BUMN) PT Timah Tbk yang terikat kontrak kerjasama, namun menurut Budiyono yang menjadi menarik adalah mengapa kontrak kerjasama dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi?.

“Hal ini menjadi semakin krusial dimana salah satu perusahaan smelter swasta di wilayah Bangka Belitung yaitu PT Stanindo Inti Perkasa turut didalilkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam perkara mega korupsi tata niaga timah, ” kata Budiyono.

Padahal secara kedudukan hukum (legal standing), PT Stanindo Inti Perkasa menurutnya telah berjalan berdasarkan kontrak perjanjian sebagaimana berlaku asas “pacta sunt servanda” (perjanjian layaknya undang-undang bagi para pihak yang mengikatkan diri kedalamnya.

Sebaliknya kata Budiyono, apabila mengacu pada fakta tersebut maka pada prinsipnya hubungan antara PT Stanindo Inti Perkasa dengan PT Timah Tbk hanya terbatas pada hubungan keperdataan. Sebaliknya apabila dipermasalahkan, telah terjadi pemenuhan “prestasi” atau kewajiban sebagaimana tertuang dalam kontrak perjanjian.

“Berdasarkan uraian tersebut diatas maka seharusnya Kejaksaan Agung Republik Indonesia tidak boleh mencampur adukan antara hubungan keperdataan dengan hubungan hukum publik (pidana),”singgungnya.

Begitu pula berdasarkan dalil-dalil sebagaimana disampaikan oleh Dr Sanitiar Burhanuddin S.H.,M.H. menyebutkan apabila PT Stanindo Inti Perkasa memenuhi unsur tindak pidana korupsi karena melakukan pembelian dan/atau pengumpulan bijih timah dari penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk, termasuk menerima pembayaran bijih timah dari PT Timah Tbk diketahuinya bijih timah yang dibayarkan tersebut berasal dari penambang illegal dari wilayah IUP PT Timah Tbk.

Mengadakan pertemuan dengan Mochtar Reza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama PT Timah Tbk dan Alwin Albar selaku Direktur Operasi dan Produksi PT Timah Tbk dan 27 (dua puluh tujuh) pemilik smelter swasta untuk membahas permintaan Mochtar Reza Pahlevi Tabrani dan AlwinAlbar atas bijih timah sebesar 5% (lima persen) dari kuota ekspor smelter-smelter swasta karena bijih timah yang diekspor oleh smelter-smelter swasta tersebut merupakan hasil produksi yang bersumber dari penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk;

Melakukan pertemuan-pertemuan dengan PT Timah Tbk untuk membahas sewa menyewa smelter dan menyepakati harga sewa smelter yang akan dibayarkan PT Timah, Tbk tanpa didahului study kelayakan (Feasibility Study) atau kajian yang memadai/mendalam sehingga terdapat kemahalan harga atau harga sudah ditetapkan sebelumnya dan tanpa seleksi/pemilihan rekanan yang wajar.

Selanjutnya memberikan modal uang kepada para kolektor dan penambang illegal yang melakukan penambangan di wilayah IUP PT Timah Tbk.
Namun mengetahui bahwa bijih timah yang nantinya dimurnikan dalam kegiatan kerjasama sewa peralatan processing penglogaman dengan PT Timah Tbk, tersebut berasal dari penambangan illegal di wilayah IUP PT Timah Tbk.

Diketahui, terdapat kemahalan harga dan mengetahui bahan baku bijih timah berasal dari penambangan tidak sah/kolektor yang tidak berijin;
Selanjutnya, menyerahkan biaya pengamanan sebesar USD500 s/d USD750 per ton yang seolah-olah dana CSR Coorporate Social Responsibility (CSR) kepada HARVEY MOEIS atas permintaan HARVEY MOEIS, dimana dana tersebut kemudian dikelola HARVEY MOEIS melalui HELENA selaku Beneficial Owner PT Quantum Skyline Exchange;

Bahwa berdasarkan rumusan dalil sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum sungguh adalah suatu tanda besar, bagaimanakah relavansi antara dakwaan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi karena tidak ada satupun unsur yang memenuhi delik tindak pidana korupsi;

Bahwa apabila mengacu pada kilas balik perkara maka PT Stanindo Inti Perkasa telah menjalankan kerjasama secara legal berdasarkan Perjanjian Nomor :740/Tbk/SP-0000/18-S11.4;

Bahwa apabila dipermasalahkan mengenai poin-poin sebagaimana duraikan dalam nomor 13 surat laporan ini, maka berikut Kami uraikan kembali mengenai fakta-fakta sebenarnya sebagaimana telah terungkap di persidangan :

Bahwa Perjanjian Nomor :740/Tbk/SP-0000/18-S11.4 berisikan tentang perjanjian sewa menyewa peralatan processing untuk penglogaman timah dengan pemurnian jumlah material sebesar 98,5%.

Dalam perjanjian tersebut disebutkan apabila seluruh produk yang dihasilkan dari kegiatan pengolahan, pemurnian dan atau pemurnian bijih timah berasal dari IUP OP PT Timah Tbk. Bahwa PT SIP hanya sebagai penyewa peralatan processing penglogaman bukan sebagai perusahaan penambang.

“Bahwa PT SIP tidak pernah melakukan dan atau beraktivitas sebagai perusahaan penambang yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, “
katanya.

Adapun apabila dipermasalahkan mengenai Perjanjian Kerjasama antara PT Timah Tbk dan PT SIP maka pada prinsipnya Jaksa Pengacara Negara (JPN) berwenang memberikan pertimbangan hukum kepada perusahaan BUMN meliputi pendapat hukum (legal opinion).

Pendampingan hukum dan audit hukum berdasarkan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : 040/A/J/A/12/2010 tentang Standar Operating Prosedur (SOP) Pelaksanaan Tugas, Fungsi, Wewenang Perdata Dan Tata Usaha Negara. Apabila ternyata terdapat kekeliruan dalam kontrak perjanjian yang dilakukan oleh PT Timah Tbk.

Lantas menurutnya dimanakah peran Jaksa Pengacara Negara sebagaimana telah diamanahkan dalam berdasarkan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : 040/A/J/A/12/2010 dalam memberikan Legal Opinion (LO) kepada perusahaan BUMN (PT Timah Tbk)?.

“Bahwa dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum disebutkan terdapat kemahalan harga jasa peleburan timah PT. SIP yaitu USD 3700/ ton, ” terang Budiyono.

Harga tersebut disebut memiliki selisih yang cukup besar dengan ketentuan harga yang ditetapkan oleh PT Timah Tbk yaitu hanya sekitar USD 1000/ton.
Lalu terjadi kemahalan harga inilah yang kemudian didalilkan sebagai kerugian negara yang diakibatkan oleh PT. SIP dengan akumulasi Rp. 2.200.704.628.766.

Namun dalam mendalilkan kerugian negara tersebut Dr Sianitar Burhanuddin SH MH dan Febri Adriansyah SH MH tidak mempertimbangkan mengapa ditetapkan harga peleburan sedemikian rupa, dan pertimbangan apa saja yang melandasi kesepakatan harga maupun pertimbangan lain sebagaimana telah ditetapkan oleh PT Timah Tbk yang akan kami uraikan sebagai berikut;
a. Bahwa perlu diketahui yang menetapkan harga peleburan adalah PT. Timah Tbk itu sendiri;
b. Kesepakatan penggunaan alat processing peleburan tersebut disetujui karena mesin peleburan milik PT Stanindo Inti Perkasa lebih hemat dalam cost. Selain itu dikarenakan mesin peleburan milik PT Stanindo Inti Perkasa menggunakan tanur listrik sedangkan mesin peleburan milik PT. Timah Tbk menggunakan mesin reverb dengan bahan bakar solar sehingga memerlukan biaya lebih untuk penggunaan solar.

c. Selain itu pada pokoknya secara teknis mesin tanur milik PT. Stanindo Inti Perkasa hanya dalam satu kali peleburan dapat mencapai recovery 93% berbanding terbalik dengan PT. Timah Tbk yang memerlukan berkali kali peleburan (2-3 kali) untuk mencapai recovery 93% .
d. Sehingga apabila dipandang dari sudut pembiayaan tentunya lebih minim cost pada mesin peleburan milik PT. Stanindo Inti Perkasa dibandingkan dengan mesin peleburan milik PT Timah Tbk. Walapun diketahui harga peleburan pada mesin peleburan milik PT Timah Tbk adalah USD 1000 dan peleburan melalui mesin peleburan PT. Stanindo Inti Perkasa adalah USD 3700 akan tetapi pada perhitungan nya tetap lebih minim cost pada mesin milik PT. Stanindo Inti Perkasa karena hanya memerlukan satu kali peleburan dan tidak memerlukan solar;
e. Bahwa apabila diakumulasikan pun biaya peleburan menggunakan mesin reverb milik PT. Timah Tbk adalah sekitar USD 3000/ton (belum termasuk solar) sehingga pada prinsipnya mesin peleburan milik PT. SIP lebih efektif, hemat dan fleskbel;
f. Bahwa berdasarkan kesepakatan dan data keuangan yang dimiliki oleh PT. SIP, kesepakatan harga peleburan sebesar USD 3700 meliputi harga sewa alat peleburan (processing) sebesar USD 3700/ ton adalah sebagai berikut :
• Biaya tenaga kerja
• Biaya bahan penolong/bahan pendukung
• Biaya suku cadang/ impor/ listrik
• Biaya peleburan
• Biaya sewa gudang bijih timah
• Biaya administrasi dan umum termasuk bunga bank yang timbul akibat keterlambatan pembayaran, biaya penyusutan dan biaya CSR (biaya CSR yang dimaksud adalah biaya bantuan sosial yang diberikan berdasarkan insiatif PT. Stanindo Inti Perkasa, biasanya pihak kelurahan/masyarakat yang membawa proposal permohonan bantuan kemanusiaan dan PT. Stanindo Inti Perkasa berinisiasi untuk memberikan dana kemanusiaan)

Lanjutnya, adapun mengenai pelaksanaan kerjasama antara PT. Stanindo Inti Perkasa dan PT. Timah Tbk terdapat intruksi PT. Timah Tbk untuk mendirikan satu persekutuan komanditer guna menjadi perantara transaksi jual beli antara penambang timah dan PT. Timah Tbk berdasarkan Surat Perintah Kerja Nomor : 56.UTD/Tbk/SPK-3130/19-S11.4;
Bahwa adapun CV Bangka Jaya Abadi pada prinsipnya telah dibentuk berdasarkan standar operasional maupun intruksi sebagaimana telah ditetapkan oleh PT. Timah Tbk sehingga tidak terdapat unsur pembentukan “perusahaan boneka” sebagai didalilkan oleh Jaksa Penuntut Umum;

Berdasarkan mekanisme kerjasama yang terlaksana pun, pada mulanya pihak penambang yang berada pada wilayah IUP OP PT. Timah Tbk secara perorangan melakukan pengiriman timah pada gudang biji timah milik PT. Stanindo Inti Perkasa yang telah disewa oleh PT. Timah Tbk timah wajib memiliki surat jalan sebagaimana diterbitkan oleh PT. Timah Tbk.

Bahwa terkait penentuan harga langsung ditentukan oleh PT. Timah Tbk sehingga CV. Bangka Jaya Abadi hanya mengikuti berdasarkan ketentuan harga yang telah di tentukan oleh PT. Timah Tbk dan dalam mekanismenya CV. Bangka Jaya Abadi akan mengirimkan invoice tagihan pembayaran terhadap hasil biji timah kepada PT. Timah Tbk.

Bahwa CV. Bangka Jaya Abadi hanya perantara dalam proses penerima dan pembayaran oleh PT. Timah Tbk kepada penambang dan setelah proses pengiriman dan pembayaran timah selesai maka barulah timah diproses kembali oleh PT. SIP untuk dileburkan menjadi timah balok;

Bahwa setelah timah menjadi balok, maka balok timah akan dikirimkan kembali kepada PT. Timah Tbk; Bahwa adapun atas pembayaran dana CSR (Corporate Social Responbility) sebagaimana didalikan oleh Kejaksaan Agung sebagai dana keamanan yang dibayarakan oleh perusahaan smelter kepada Harvey Moeis adalah merupakan satu hal yang tidak dapat dikaitkan sebagai unsur kerugian negara dalam pasal tindak pidana korupsi;

Pada faktanya PT Stanindo Inti Perkasa membayar CSR hanya sebatas menjalankan kewajiban “social responbility” sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, dimana PT Stanindo Inti Perkasa hanya mengetahui bahwa dana CSR (Corporate Social Responbility) merupakan dana kemanusian yang diberikan oleh perseroan terbatas kepada masyarakat dan apabila terjadi penyalahgunaan atau penyaluran yang tidak tepat maka yang patut dimintai pertanggung jawaban adalah Harvey Moeis selaku inisiator dalam pembayaran dana CSR (Corporate Social Responbility);

Bahwa hal ini adalah satu hal yang tidak relavan apabila akibat dana CSR (Corporate Social Responbility) menyebabkan pemidanaan bagi PT. Stanindo Inti Perkasa yang pada dasarnya hanya memiiliki niat baik dalam pemberian dana kemanusiaan;

Bahwa selain itu diketahui Bambang Hero Saharjo selaku Ahli Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang ditunjuk oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia memberikan keterangan pada perkara mega korupsi tataniaga timah tahun 2015-2022 menyebutkan nilai kerusakan lingkungan sebesar Rp.271.000.000.000.000,- (dua ratus tujuh puluh satu triliun);

Bahwa atas perhitungan Bambang Hero Saharjo tersebut telah menjadi dasar bagi Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam merumuskan dakwaan maupun tuntutan kepada para Terdakwa sebagaimana dipersangkakan telah melakukan tindak pidana korupsi tataniaga timah, atas perhitungan tersebut telah menggegerkan publik karena digadang-gadang menyebabkan kerugian negara akibat kerusakan lingkungan sebesar Rp.271.000.000.000.000,- (dua ratus tujuh puluh satu triliun) dengan melibatkan pihak PT Timah Tbk dan perusahaan peleburan (smelter) swasta lainnya;

Bahwa berdasarkan dalil yang Bambang Hero Saharjo sampaikan didalam persidangan menyebutkan angka kerugian tersebut merupakan estimasi kerugian lingkungan berupa kerusakan lingkungan pada lubang galian seluas 170.363,064 hektar, namun atas perhitungan tersebut, belakangan ditemukan fakta bahwasanya Bambang Hero Saharjo tidak berkompeten dalam melakukan perhitungan kerugian keuangan negara;

Bahwa diketahui Bambang Hero Saharjo tidak memiliki relavansi dalam penghitungan perhitungan kerugian negara dikarenakan Bambang Hero Saharjo adalah Ahli Lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan bukan merupakan Ahli Keuangan Negara;

Bahwa padahal seharusnya apabila berbicara mengenai kerugian negara, maka pihak yang berkompenten dalam melakukan penghitungan adalah Ahli Keuangan Negara yang terverifikasi lebih lanjut oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan);

Bahwa berdasarkan fakta persidangan pun, Bambang Hero Saharjo terbukti tidak dapat menjelaskan mengenai metode perhitungan yang digunakan dalam menafsirkan kerugian negara akibat kerusakan lingkungan, selain itu Bambang Hero Saharjo secara tidak professional dalam menghitung kerugian negara akibat kerusakan lingkungan tidak memisahkan kerugian antara IUP OP Timah Tbk dan Non PT. Timah Tbk, dimana saat hendak dikonfirmasi dalam persidangan Bambang Hero Saharjo malah menjawab : “aduh saya malas Yang Mulia”;

  1. Bahwa Kejaksaan Agung Republik Indonesia diduga secara tendensius tidak mempertimbangkan Pasal 4 Ayat 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup menyebutkan apabila :
    Ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditunjuk oleh:
    a) Pejabat Eselon 1 dibidang Penataan Hukum Lingkungan Instansi Lingkungan Hidup Pusat
    b) Eselon II Instansi Lingkungan Hidup Daerah
  2. Bahwa kemudian berdasarkan uraian Pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup menyebutkan apabila dalam menyampaikan hasil penelitian harus didasarkan pada bukti berupa:

• Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup
• Valuasi Ekonomi Lingkungan
. Bahwa dalam melakukan perhitungan kerugian Negara sebagaimana diuraikan diatas pun wajib melalui penunjukan oleh Eselon 1 Bidang Penataan Lingkungan Hidup;
Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, seharusnya Bambang Hero Saharjo tidak boleh ditunjuk oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) apalagi Penyidik Kejaksaan untuk menjadi Ahli dalam perhitungan kerugian negara;

Bahwa berdasarkan Pasal 6 Ayat 1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup sudah secara jelas diatur mengenai tujuan penggunaan hitungan berdasarkan yaitu untuk penilaian awal dalam rangka penyelesaian sengketa lingkungan hidup;

Bahwa hitungan ditulis redaksional sebagai “penilaian awal” karena hitungan tersebut dapat berubah;
Bahwa berdasarkan Pasal 6 Ayat 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa :
“Hasil penghitungan Kerugian Lingkungan Hidup yang dihitung oleh ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengalami perubahan dalam proses Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di luar pengadilan atau melalui pengadilan.”

Bahwa atas klausula “dapat mengalami perubahan” artinya adalah hasil perhitungan ini bukanlah hasil yang nyata dan pasti, karena hasil perhitungan masih dapat berubah dipengaruhi oleh faktor sebagaimana disebut dalam Pasal 6 Ayat 3, Ayat 4 dan Ayat 5 Pasal 6 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup;

Bahwa oleh karena perhitungan “dapat berubah”, sehingga hasil perhitungan bukan merupakan hasil perhitungan yang NYATA dan PASTI, maka cara perhitungan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup ini tidak diperbolehkan untuk dijadikan landasan menghitung KERUGIAN KEUANGAN NEGARA. Karena kerugian keuangan negara harus nyata dan pasti;

Bahwa tindakan menghitung KERUGIAN KEUANGAN NEGARA dengan menggunakan aturan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup merupakan suatu PENYIMPANGAN HUKUM DAN MELANGGAR HAK ORANG LAIN apalagi sampai membuat orang terpenjara, mengganti rugi sekian Triliun bahkan menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat Bangka Belitung.

Bahwa adapun mengenai kerugian negara “actual loss” berdasarkan fakta-fakta persidangan, Kejaksaan Agung Republik Indonesia tidak dapat membuktikan mengenai kerugian negara.

Bahwa adapun mengenai kerugian negara “actual loss” berdasarkan fakta-fakta persidangan, Kejaksaan Agung Republik Indonesia tidak dapat membuktikan mengenai kerugian negara tersebut;

  1. Bahwa tidak ada satupun bukti yang mendukung terdapat aliran dana kerugian negara “actual loss” yang disebabkan oleh perkara sebagaimana disebut sebagai mega korupsi tata niaga timah tersebut diatas;

Bahwa adapun berbicara mengenai pengembalian asset menurut Ahli Hukum Prof. Eddy Hiariej menyebutkan pengembalian asset dalam perkara tindak pidana korupsi maka instrumentum scholaris dan objektif scholaris telah berubah menjadi frukto scholaris maka pengembalian asset tidak hanya diberikan kepada negara tetapi juga kepada masyarakat terdampak, namun seperti diketahui tidak pernah terjadi pengembalian asset kepada masyarakat yang pada prinspinya benar-benar terdampak pada tindak pidana korupsi, sedangkan masyarakat yang benar-benar terdampak tidak pernah mendapatkan pengembalian negara dan malah terjadi penurunan ekonomi masyarakat secara keseluruhan.

Bahwa Dr. Sanitiar Burhanuddin S.H.,M.H. dan Dr. Febrie Adriansyah, S.H.,M.H tidak pernah memperhatikan keobjektifan dalam pengembalian asset negara sebagaimana dimaksud dalam konsep pengembalian negara di undang-undang tindak pidana korupsi

Bahwa disampaikan oleh Dr. Sanitiar Burhanuddin S.H.,M.H. telah mem-framing terdapat 2000 lebih perusahaan smelter yang terlibat dalam perkara mega korupsi tataniaga timah yang menyebabkan kerugian sebesar Rp. 271 triliun berdasarkan konferensi pers tertanggal 14 Januari 2025;

Bahwa namun ada statement tersebut sampai sekarang Dr. Sanitiar Burhanuddin S.H.,M.H. tidak dapat membuktikan dan menangkap ke 2000 lebih perusahaan smelter sebagaimana didalikan tersebut dan malah melimpahkan pertanggung jawaban kepada perusahaan smelter yang tidak pernah sama sekali menikmati aliran dana akibat tindak pidana korupsi;

Bahwa dalam satu konferensi pers tertanggal 29 Mei 2024 pun, Dr. Febrie Adriansyah, S.H.,M.H menyebutkan apabila “kerugian negara dari kerusakan lingkungan akibat aktivtias pertambangan masuk pasa ranah tindak pidana korupsi yang wajib di bayar oleh PT. Timah Tbk, namun karena PT. Timah Tbk merugi maka yang patut membayar kerugian adalah mereka yang menikmati (dalam hal ini pihak swasta yang menjalin kerjasama peleburan bersama PT Timah Tbk;

Bahwa padahal pada prinsipnya jamrek (jaminan reklamasi) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 Undang-Undang No.3 Tahun 2020 telah diberikan kepada PT. Timah Tbk sebagai satu perusahaan BUMN yang memilik IUP pernambangan, sehingga seharus nya pun apabila terjadi kerusakan lingkungan di wilayah IUP penambangan PT. Timah maka hal tersebut merupakan tanggung jawab pemegang IUP;

Bahwa kesalahan penanganan perkara ini telah berimplikasi pada penurunan perekonomian maupun kekacauan sosial masyarakat Bangka Belitung

Bahwa telah dikirimkan Laporan Terhadap Dugaan Pelanggaran Kewenangan Penanganan Hukum Menggunakan Keterangan Palsu Yang Mengakibatkan Terampasnya Hak Asasi Manusia Bagi Para Pihak Yang Seharusnya Tidak Dipersalahkan Sehingga Mengakibatkan Kegaduhan Pada Masyarakat Dalam Perkara Mega Korupsi Tataniaga Timah Oleh Dr. Sanitiar Burhanuddin S.H.,M.H. dan Dr. Febrie Adriansyah, S.H.,M.H. pada tanggal 20 Januari 2024 berdasarkan Surat Nomor : 009/LP/AK-LAW/I/2025/BANGKA;

“Terhadap uraian tersebut maka kami memohon kepada Presiden RI (Bapak Prabowo Subianto – red) untuk dapat memperkenankan penonaktifan yang mohonkan dengan alasan-alasan sebagaimana telah kmai uraikan,” tegas Budiyono.
(Red/Rilis)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *